top of page
Search
  • Writer's pictureMerdeka Secretariat

Statement on the 57th Anniversary of Indonesia’s Occupation of West Papua

Updated: May 2, 2020

Condemn the Racist and Anti-Workers Regime!


Lihat terjemahan bahasa Indonesia di bawah ini


May 1, 2020


On May 1st 1963, occupation of West New Guinea of the former Dutch New Guinea territory was undertaken by the Indonesian military under the barrel of the gun, with blessings from the United Nations (UN) and the Netherlands. Since then, a conservative estimate of 500,000 Indigenous Papuans have been wiped out in what has been referred to as slow-motion genocide.


The region now collectively known as West Papua consists of what Indonesia considers the provinces of Papua and West Papua. It was granted a special autonomy status in 2001 that would supposedly bring development in the region and respect the social and cultural life of the people. But West Papuans, especially the Indigenous Peoples, cannot practice the fundamental right to freedom of expression and assembly without getting arrested, threatened, or killed.


Moreover, the peoples of Papua still have no control over their natural resources - far from what the special autonomy has promised. Giant corporations like Freeport McMoran (Mimika), the British Petroleum (Bintuni), and the state’s agribusiness program, Merauke Integrated Food and Energy Estate, have brought more havoc than benefits for the communities in which they operate and have violated the rights of their workers as well. Recently, Freeport has reportedly refused to grant paid leave for its workers despite the pandemic. It has also dispersed a workers protest in April which demanded a temporary stop to the company operations given the active armed clashes in the area between the Indonesian Army (TNI) and the West Papua Liberation Army (TPNPB). The TNI’s presence is especially heavy in the areas where these big businesses are, as they function as the companies’ private security to suppress the resistance from communities who are affected by their disastrous operations.

May 1st is also celebrated globally as International Workers’ Day.


We wish to express our solidarity with the working class of West Papua and Indonesia who will be protesting online and offline on this day to voice out the issues that they are facing and to assert their basic rights.


Despite the ongoing pandemic, the Indonesian Government insists on the passage of the anti-people Omnibus Law. The draft law has already drawn flak from various groups, including workers who have pointed out how the law shall worsen the state of the working people in the country by reducing, if not completely eliminating the rights to job security, income security, and statutory benefits among other rights. The law practically strips off the right to dignified living for ordinary workers in Indonesia while favoring big businesses by removing sanctions on employers who do not follow the minimum wage.


Aside from the labor aspect, the law also poses the threat of environmental hazards by relaxing requirements for business licenses and other investments. This will greatly affect Indigenous Peoples living in resource-rich territories such as the West Papua. The Omnibus Law works on the general framework of boosting foreign investments at the expense of the workers, the Indigenous Peoples, and the environment.


The Indonesian Government has employed various tactics to divide the oppressed and exploited peoples of Indonesia and West Papua but the devastating impacts of neoliberal policies on the toiling masses push the peoples of Indonesia and West Papua to unite and fight for their democratic rights and interests.


The West Papuans’ struggle against racism, militarization, and ultimately for self-determination, is linked to Indonesia's struggle for economic political sovereignty through national land reform and national industrialization, as both struggles are rooted on the desire to break free from the same system that lives off of exploitation of labor and natural resources.


Defend the right to work, decent wage, and humane working conditions!

Reject the anti-people OMNIBUS Law!


Stop the plunder of ancestral lands!

Reject Indonesia’s occupation of West Papua!


Long live the workers of the world! Long live international solidarity!



Reference:

Deewa Dela Cruz



Pernyataan Peringatan HUT ke-57 Pendudukan Indonesia di Papua Barat:


Mengecam Rezim Rasis dan Anti-Pekerja!

1 Mei 2020 Pada tanggal 1 Mei 1963, pendudukan Nugini Barat di wilayah bekas Belanda Nugini diambil ahli secara paksa oleh tentara Indonesia di bawah laras senapan, dengan restu dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Belanda. Sejak itu, diperkirakan 500.000 penduduk asli Papua telah dimusnahkan dalam apa yang disebut sebagai pemusnahan yang secara perlahan-lahan. Wilayah yang sekarang secara kolektif dikenal sebagai Papua Barat terdiri dari apa yang Indonesia membaginya dalam dua provinsi Papua dan Papua Barat. Itu diberikan status otonomi khusus pada tahun 2001 yang seharusnya akan mendukung pembangunan di wilayah ini dan menghormati kehidupan sosial dan budaya masyarakat. Tetapi orang-orang Papua Barat, khususnya Penduduk Asli, tidak dapat mempraktikkan hak-hak dasar mereka untuk kebebasan berekspresi dan berkumpul tanpa ditangkap, diancam, atau dibunuh. Selain itu, masyarakat Papua masih tidak memiliki kendali atas sumber daya alam mereka - jauh dari apa yang telah dijanjikan dalam Otonomi Khusus. Perusahaan raksasa seperti Freeport McMoran (Timika), British Petroleum (Bintuni), dan program agribisnis negara, Merauke Integrated Food and Energy Estate, telah membawa lebih banyak kerugian daripada manfaat bagi masyarakat setempat dan telah melanggar hak-hak pekerja buruh mereka demikian juga. Baru-baru ini, Freeport dilaporkan menolak untuk memberikan cuti kepada para pekerjanya meskipun terjadi pandemik. Mereka juga membubarkan sebuah protes buruh pada bulan April yang menuntut penghentian sementara operasi perusahaan mengingat bentrokan bersenjata perlawanan di daerah antara Tentara Indonesia (TNI) dan Tentara Pembebasan Papua Barat (TPNPB). Kehadiran TNI dalam jumlah yang besar di daerah-daerah di mana perusahan-perusahaan raksasa ini, karena mereka berfungsi sebagai keamanan bagi perusahaan untuk menekan perlawanan dari masyarakat yang terkena dampak buruk dari operasi perusahaan ini. 1 Mei juga diperingati secara dunia sebagai Hari Buruh Internasional. Kami ingin menyampaikan solidaritas kami dengan kelas pekerja buruh Papua Barat dan buruh Indonesia yang akan melakukan protes online dan offline pada hari ini untuk menyuarakan masalah yang mereka hadapi dan untuk mengangkat hak-hak dasar mereka. Terlepas dari pandemik yang sedang berlangsung, Pemerintah Indonesia bersikeras agar UU Omnibus yang anti-rakyat diberlakukan. Rancangan undang-undang telah menarik kritik dari berbagai kelompok, termasuk pekerja buruh yang telah menunjukkan bagaimana hukum akan memperburuk keadaan para buruh yang bekerja di negara itu dengan menguranginya, jika tidak sepenuhnya menghilangkan hak-hak para buruh untuk keamanan kerja, keamanan pendapatan, dan tunjangan wajib yang lainnya, dan di antara hak-hak lainnya. Artinya undang-undang tersebut mencabut hak untuk hidup bermartabat bagi pekerja buruh biasa di Indonesia sambil menguntungkan perusahaan besar dengan menghapus sanksi bagi pengusaha yang tidak mengikuti pembayaran upah minimum. Selain dari aspek ketenagakerjaan, undang-undang juga menimbulkan ancaman bagi lingkungan hidup dengan memudahkan persyaratan untuk izin usaha dan investasi lainnya. Ini akan sangat berbahaya bagi Masyarakat Adat yang tinggal di wilayah yang kaya sumber daya alamnya seperti Papua Barat. Undang-undang Omnibus bekerja pada kerangka umum untuk kepentingan meningkatkan investasi asing dengan mengorbankan pekerja buruh, Masyarakat Adat, dan lingkungan hidup. Pemerintah Indonesia telah menggunakan berbagai taktik untuk memecah belah, eksploitasi rakyat Indonesia dan rakyat Papua yang tertindas karena dampak buruk dari kebijakan neoliberal sistem pada massa pekerja buruh, maka rakyat Indonesia dan Papua Barat untuk bersatu dalam memperjuangkan hak dan kepentingan demokrasi mereka. Perjuangan orang Papua melawan rasisme, militerisasi, dan akhirnya untuk penentuan nasib sendiri, terkait dengan perjuangan Indonesia untuk kedaulatan ekonomi politik melalui reformasi tanah nasional dan industrialisasi nasional, karena kedua perjuangan tersebut berakar pada keinginan untuk membebaskan diri dari sistem yang sama yang hidup dari eksploitasi tenaga kerja dan sumber daya alam. Pertahankan hak untuk bekerja, upah yang layak, dan kondisi kerja yang manusiawi! Tolak UU OMNIBUS anti-manusia!


Hentikan penjarahan tanah leluhur! Tolak pendudukan Indonesia atas Papua Barat! Hidup para pekerja di dunia! Hidup solidaritas internasional!


Reference:

Deewa Dela Cruz

bottom of page